Wacana Penguatan Sistem Presidensial: Perluasan Fungsi Pengawasan DPD Jadi Sorotan

Editor: Reggy Ade Putra
Sumber: Naskah Akademik Juanda, Guru Besar Hukum Tata Negara, Universitas Esa Unggul

Jakarta – Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Esa Unggul, Juanda, kembali menggaungkan pentingnya melakukan perubahan kelima terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Gagasan utamanya adalah memperkuat sistem presidensial melalui perluasan fungsi dan pengawasan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Menurut Juanda, perubahan konstitusi merupakan keniscayaan dalam sistem demokrasi yang sehat. “Bangsa yang demokratis harus siap menghadapi dinamika zaman. Salah satunya melalui penataan struktur kelembagaan negara agar semakin efektif, akuntabel, dan proporsional,” ujarnya.

Dominasi Kekuasaan Presiden Butuh Kontrol yang Seimbang

Dalam sistem UUD 1945, posisi Presiden Republik Indonesia sangat kuat. Setidaknya terdapat 19 pasal dengan 42 ayat yang mengatur secara langsung kedudukan, fungsi, dan peran Presiden baik sebagai kepala negara maupun kepala pemerintahan. Belum lagi fungsi legislatif Presiden yang tercantum dalam beberapa pasal, seperti Pasal 20 ayat 2 dan 4, serta fungsi lainnya dalam bidang pengelolaan keuangan, hukum, dan pengangkatan pejabat tinggi negara.

“Namun, sebesar apa pun kekuasaan Presiden, tetap harus diawasi. Karena kedaulatan berada di tangan rakyat. Maka prinsip check and balance harus berjalan,” tegas Juanda.

Ia menilai, pengawasan yang saat ini hanya bertumpu pada DPR tidak cukup. DPD sebagai lembaga perwakilan daerah perlu dilibatkan lebih aktif dan diberi peran yang setara dalam sistem pengawasan pemerintahan.

DPD Masih Jadi “Pelengkap Penderita”

Juanda mengkritisi posisi DPD yang hingga kini hanya memiliki peran terbatas. Sesuai UUD 1945 Pasal 22D, DPD hanya memiliki fungsi memberikan usulan, pertimbangan, dan pengawasan terbatas, tanpa hak suara dalam pengambilan keputusan di DPR.

“Secara yuridis, DPD terjebak dalam posisi yang tidak seimbang. DPD tidak bisa ikut menentukan arah undang-undang secara final, padahal mereka mewakili kepentingan daerah yang justru sangat terdampak oleh kebijakan pusat,” paparnya.

Fakta ini dinilai Juanda sebagai bentuk ketimpangan konstitusional yang harus segera dibenahi. Ia mendorong agar DPD diberi kekuatan legislatif dan pengawasan yang lebih nyata, termasuk dalam pengawasan kebijakan Presiden dan kementerian.

Usulan Strategis: Amandemen UUD atau Revisi UU MD3

Untuk mewujudkan itu, Juanda mengusulkan dua jalur utama: pertama, melakukan Amandemen Kelima UUD 1945 agar DPD mendapatkan fungsi legislasi dan pengawasan yang konstitusional dan sejajar dengan DPR. Kedua, jika amandemen tidak memungkinkan, maka bisa dilakukan revisi Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) untuk memperkuat peran DPD dalam sistem ketatanegaraan.

Ia menegaskan bahwa penguatan DPD bukan hanya soal pengawasan administratif, tetapi juga “pengawasan politik” – yaitu kontrol terhadap kebijakan pusat yang berdampak langsung pada masyarakat daerah, termasuk isu otonomi daerah, desentralisasi fiskal, dan pemekaran wilayah.

Pemekaran Daerah dan Moratorium: DPD Harus Terlibat

Dalam hal pemekaran daerah, Juanda juga menyoroti kebijakan moratorium oleh pemerintah pusat yang kini hanya dikecualikan untuk wilayah Papua. Ia menyebut, banyak aspirasi dari daerah yang merasa perlu dimekarkan atau sebaliknya digabung, karena tidak efektif dalam menjalankan otonomi daerah.

Namun sayangnya, DPD tidak memiliki ruang yang cukup untuk menyuarakan atau mengawal aspirasi-aspirasi ini secara konstitusional. “Ini yang harus kita benahi. DPD perlu punya hak kontrol terhadap kebijakan seperti moratorium pemekaran yang dikeluarkan oleh Presiden melalui Kementerian Dalam Negeri,” ucapnya.

Ketimpangan Layanan di Daerah: DPR Dihormati, DPD Diabaikan

Juanda menambahkan, dalam praktik di lapangan, anggota DPR sering kali mendapat perlakuan khusus saat kunjungan ke daerah karena dianggap membawa ‘kekuatan anggaran’. Sementara anggota DPD sering kali hanya dilayani oleh asisten pemerintah daerah. “Ini menunjukkan bahwa persepsi terhadap DPD masih rendah, padahal mereka adalah wakil sah daerah di tingkat nasional,” katanya prihatin.

Penutup: Arah Baru Sistem Presidensial Indonesia

Juanda menekankan, memperkuat fungsi DPD bukan sekadar tuntutan kelembagaan, tetapi merupakan bagian penting dari upaya menyempurnakan sistem presidensial Indonesia. Sebuah sistem yang kuat harus diimbangi oleh mekanisme pengawasan yang profesional dan berimbang.

“Kalau kita ingin sistem presidensial yang efektif, maka tidak cukup hanya memperkuat Presiden. Lembaga pengawasan juga harus diperkuat. DPD harus diberi tempat yang lebih dari sekadar simbol keterwakilan daerah,” pungkasnya.


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top