Guru Besar Hukum Tata Negara: Abolisi dan Amnesti Hak Konstitusional Presiden

JAKARTA — Pemberian abolisi dan amnesti merupakan hak konstitusional Presiden yang diatur dalam Pasal 14 UUD 1945 dan UU Darurat 11 Tahun 1954. Hal itu ditegaskan Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Esa Unggul Jakarta, Prof. Dr. Juanda, SH, MH.

“Abolisi merupakan kebijakan hukum dari Presiden untuk menghentikan proses hukum terhadap seseorang terdakwa dengan pertimbangan dan persetujuan DPR. Artinya perbuatannya tetap ada tetapi dihentikan penuntutan dengan alasan untuk karena kepentingan negara,” terangnya dalam keterangannya, Jakarta, Sabtu (2/8/2025).

Ia mengatakan hal itu menanggapi pemberian abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong dan amnesti untuk Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristianto.

“Sedangkan Amnesti kebijakan hukum dari Presiden sebagai Kepala Negara untuk menghapus hukuman pidana terhadap seorang terpidana Jadi Amnesti meniadakan hukuman pidana sehingga perbuatan pidana dianggap tidak pernah ada,” imbuhnya dalam keterangan tertulis, Jakarta, Sabtu (2/8/2025).

Terkait persoalan apakah abolisi itu tepat diberikan kepada Tom Lembong dan amnesti untuk Hasto Kristianto, menurut Juanda, secara akademis hal itu bisa diperdebatkan tergantung perspektif masing-masing.

“Bisa saja ada pakar yang mengatakan tepat tetapi ada juga yang berpendapat tidak. Yang jelas secara subjektif itu hak Presiden dan pasti ada alasan alasan hukum dan politik,” tegasnya.

Ia lantas menjelaskan bahwa alasan hukum pemberian abolisi dan amnesti bisa jadi berdasar pada UUD 1945 dan undang-undang yang berlaku bahwa Presiden ingin memberikan keadilan kepada yang bersangkutan terdakwa atau terpidana.

Namun, ia menegaskan bahwa pemberian keadilan ini tidak tunggal atau terlepas dengan persoalan pertimbangan politik praktis.

“Apalagi Hasto adalah masih berstatus sebagai Sekjen PDI Perjuangan tentu bisa dikait-kaitkan dengan status politik beliau dan hubungan dengan Ketumnya PDIP. Seharusnya kalau hanya alasan politik saya pikir kurang tepat dan tidak adil. Dapat saja kecemburuan dengan terpidana yang lain. Apalagi Hasto adalah terpidana soal kasus Korupsi, sehingga dapat menimbulkan penafsiran-penafisaran subjektif dari pihak-pihak tertentu,” tuturnya.

Terkait pemberian abolisi kepada Tom Lembong, Juanda menilainya sebagai kebijakan hukum yang terlambat. Seharusnya dari sejak awal sebelum memasuki tuntutan, Presiden langsung memberikan abolisi jika melihat dan menilai Tom Lembong layak diberikan.

“Terlalu lama sampai 9 bulan itu baru diberikan. Bahkan sudah diputuskan oleh Pengadilan. Agak terlambat tim hukum Istana memberikan masukan kepada Presiden. Namun demikian, demi keadilan dan tegaknya prinsip negara hukum lebih baik terlambat daripada tidak diberikan,” katanya.

Soal apakah ada atau tidak intervensi politik, Juanda berpendapat, mau tidak mau suka atau tidak suka dalam setiap pemberian abolisi dan amnesti sulit dihindari dari kata intervensi.

“Sudah pasti itu tindakan hukum Presiden yang memang beraspek politik. Intervensi yang dibenarkan oleh konstitusi dan UU yang berlaku,” katanya.

Tidak ada yang salah apa yang dilakukan oleh Presiden Prabowo dalam hal abolisi dan amnesti, karena memang wewenang Presiden dan intervensi itu dibenarkan oleh hukum.

“Namun persoalannya agar masyarakat luas tahu alasan hukum dan politik, tim Hukun Kepresidenan menjelaskan kepada masyarakat luas, mengapa abolisi dan amnesti diberikan kepada Tom lembong dan Hasto agar jelas yang membedakan dengan terdakwa dan terpidana lainnya,” pungkasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top